Saturday 31 October 2009

Almarhum Andi Hasan Opu To Hatta Diberi Gelar Opu Mpelai Ussu

- Dari Proses Adat Pemakaman Andi Hasan

Ketua DPRD Kabupten Luwu Timur, H Andi Hasan Opu To Hatta, yang wafat pada Jumat, 30 Oktober, pada pukul 21.22 Wita, di kediamannya di Malili, ibukota Kabupaten Luwu Timur, dimakamkan keesokan harinya, Sabtu, 31 Oktober. Pemakaman yang dimulai pukul 14.00, dilakukan dengan prosesi militer dan adat, karena almarhum adalah Ketua Legiun Veteran RI Kabupatn Luwu Timur dan Opu Balirante dalam adat Seppulo Dua, Dewan Adat Dua Belas dari Dewan Adat Kedatun Luwu.

Sesuai kaidah adat dan budaya masyarakat Luwu tradisional, yang mengatakan; 'Pattuppui Ri Ade E, Mu Pasanre Ri Sara E', yang secara bebas berarti; Setiap tindakanmu tumpukan pada adat dan sandarkan pada syariat agama, maka setelah jenazah almarhum dimandikan, dikafani, lalu dishalati sesuai syariat agama Islam, jenazah almarhum selanjutnya dimakamkan sesuai prosesi adat Luwu.

Pemakaman dengan prosesi adat Luwu ini dimulai dengan jenazah almarhum diusung dengan dinaungi sehelai tenda kain yang dipegang oleh enam orang gadis yang berpakaian adat. Tenda kebesaran ini merupakan simbol penghormatan dari masyarakat adat Kedatuan Luwu kepada almarhum.

Di depan usungan jenazah almarhum, sepasang pemuda membawa obor, yang disebut Sulo Langi', penerang jalan yang sekaligus penghalau segala aral yang melintang.

Di belakangnya disusul seorang pembawa tombak berhiaskan rambut manusia. Tombak ini disebut Bessi Panranga, yang menyimbolkan, almarhum Andi Hasan Opu To Hatta adalah seorang anggota Dewan Adat Dua Belas atau Adat Seppulo Dua dari Kedatuan Luwu.

Setelah itu menyusul tiga pasangan gadis yang berpakaian adat dengan masing-masing selempang di dada dan bahunya. Gadis-gadis ini masing-masing memegang sebatang lilin yang dinyalakan, pertanda rasa uka yang mendalam dari segenap lapisan keluarga, handai taulan, kerabat, dan lapisan masyarakat adat dalam Kedatuan Luwu.

Di belakang tiga pasang gadis pembawa lilin ini menyusul lagi tiga pasang gadis lainnya yang juga berpakaian adat. Gadis-gadis ini masing-masing memegang dan mengibas-ngibaskan kipas berwarna merah yang disebut 'Simpa'. KIbasn kipas ini melambangkan upaya menyabarkan dan menabahkan diri untk mengatasi rasa duka yang mendalam menghadapi cobaan Allah SWT.

Setiap langkah pengiring jenazah tersebut, tumitnya harus menyentuh ujung jari kakinya yang lain, yang menunjukan betapa berat perasaan seluruh anggota keluarga dan segenap lapisan masyarakat adat Kedatuan Luwu untuk melepas kepergian almarhum.

Jenazah diusung melewati tangga yang terbuat dari batang pinng yang disebut 'Sapana'. Pohon pinang dianggap sakral dalam setiap prosesi adat di nusantara.

Di ujung tangga 'Sapana' seekor sapi disembeli, tepat pada saat jenazah melintasi hewan berkaki empat ini. Ini menandakan 'sulapa eppa' atau segi empat yang merupakan simbol keutuhan seluruh anggota keluarga dan masyarakat adat yang turut merasakan kepedihan dan kesedihan atas kepergian almarhum.

Setelah itu peti jenazah diletakkan di atas usungan yang terbuat dari delapan pasang bambu yang disebut 'Ulereng Ratu'. Usungan tersebut diangkat lalu diletakkan kembali sebanyak tiga kali. Prosesi ini disebut 'riassippai' atau 'diperebutkan'. Pada jaman dahulu biasanya pengusung yang di sebelah kanan menarik usungan ke kanan, demikian pula pengusung yang sebelah kiri menarik usungan ke kiri. Pengusung di depan dan yang di belakang juga menarik usungan ke depan dan ke belakang, sehingga usungan ini terkesan 'diperebutkan'.

Prosesi ini mencerminkan refleksi kepribadian almarhum yang selama hidupnya senantiasa memiliki tingkah laku sosial yag penuh rasa tanggungjawab, sehingga seluruh anggota keluarga dan lapisan masyarakat adat Kedatuan Luwu ikut menjadi 'Tomasiri', atau orang yang siap membela kehormatan atau harga diri almarhum.

Dalam adat budaya Luwu tradisonal, adalah suatu aib bila jenazah seseorang tidak ada yang membalikkannya, biasanya disebut 'riwaleang bakkena'. Ini sebuah aib jika tak ada lagi orang yang 'masseddi siri' dengan pribadinya.

Prosesi ini berakhir dengan pemberian gelar anumerta kepada almarhum dari Dewan Adat Dua Belas atau Seppulo Dua Kedatuan Luwu.

Berdasarkan kesepakatan Dewan Adat Dua Belas atau Seppulo Dua, almarhum diberi gelar numerta; Andi Hasan Opu To Hatta Opu Mpelai Ussu, yang berarti wafat di Ussu, ibukota Kedatuan Luwu yang pertama setelah Watampare berpindah ke tempat lain.(Zwaeb Laibe)

No comments:

Post a Comment