Tuesday 16 February 2010

Ismail Yusanto : Mari Elka Pangestu itu Menteri Perdagangan Republik Indonesia atau Menteri Perdagangan Republik China?


Lebih dari lima puluh persen pengusaha industri dalam negeri mengeluhkan kebijakan pemerintah yang tidak mau melakukan renegosiasi perjanjian perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan China (ACFTA).

Ironi memang, sejak ditanda-tangani perjanjian tersebut pada 2002 hingga diberlakukannya pada 2010 ini, tidak nampak sama sekali adanya upaya persiapan dari pemerintah untuk menjaga kepentingan dalam negeri.

“Akibatnya diprediksikan pada tahun ini pengangguran akan bertambah sekitar 2,5 juta orang,” tegas Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Rekson Silaban dalam acara Talkshow Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke 16, Ahad (24/1) di Wisma Antara, Jakarta.

Lantaran, ujar Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia Franky Sibarani, pengusaha yang berbasiskan industri akan bergeser menjadi pedagang. “Otomatiskan buruh yang menjadi korban!” tandas Franky.

Rekson menyayangkan mengapa pemerintah mau menandatangani ACFTA tersebut, tetapi tidak memiliki skenario untuk menjamin nasib 2,5 juta karyawan yang bakal kehilangan pekerjaannya itu. “Payah dong!” ujarnya.

Mereka di-PHK bukan karena malas atau tidak bisa bekerja melainkan perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut lantaran kalah bersaing dengan produk dari China. Barang dari luar tersebut menjadi sangat murah lantaran dicabutnya hambatan impor yang berupa tarif dan non tarif itu, seperti yang dituangkan dalam perjanjian ACFTA.

Padahal dengan hambatan tarif, barang tertentu dikenai pajak bea masuk yang tinggi sehingga barang tersebut tidak jadi masuk atau kalaupun masuk harganya menjadi lebih mahal dibanding produk lokal.

Sedangkan hambatan non tarif, misalnya, pemerintah membuat kriteria tertentu, sehingga barang yang tidak memenuhi kriteri tersebut tidak bisa masuk. Dengan diberlakukannya ACFTA, hambatan terhadap produk China menjadi tidak ada.

Di samping itu, menurut Franky, pengusaha besar dan menengah di Indonesia itu tidak lebih dari satu persen. Mereka menguasai hampir 60 persen usaha. Jadi bagaimana nasib yang 99 persen ini?

Ya jadi seperti pertandingan tinju, ujar Pakar Ekonomi Islam Hidayat Muttaqien. “Petinju Indonesia yang kelas bulu itu dipaksa masuk ring melawan petinju China yang kelas berat” ujarnya dalam acara yang bertajuk “ACFTA-Perdagangan Bebas-2010: Bunuh Diri Ekonomi Indonesia” itu.

Sehingga, ujar Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, hampir tidak ada gunanya kita mempunyai pemerintah. “Kalau hambatan tarif dan non tarif itu sudah tidak ada sesungguhnya negara sudah tidak punya alat untuk melindungi kepentingan rakyatnya!” tandas Direktur STIE Hampara tersebut.

Inilah salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa pemerintah telah kehilangan visi yang paling penting dari sebuah pemerintahan yaitu melindungi dan mengurus kepentingan rakyatnya.

Ismail pun menanyakan lantas sebenarnya pemerintah ini sedang bekerja untuk siapa? Perlu dipertanyakan juga Mari Elka Pangestu itu Menteri Perdagangan Republik Indonesia atau Menteri Perdagangan Republik China?

Korban Kapitalisme

Rakyat Indonesia menjadi terjajah seperti ini karena hidup di dalam sistem ekonomi kapitalistme. Kemudian dipimpin oleh para pemimpin yang berotak kapitalis juga. Jadi kalau sekarang rakyat remuk redam itu karena memang rakyat berada dilingkungan yang membuatnya remuk.

Islam telah menegaskan bahwa pemimpin adalah pelindung dan pelayan umat. Bagaimana mau menjalankan fungsi tersebut kalau tidak mandiri. Bila memang melihat China sebagai potensi pasar, ya memang harus digarap tetapi dengan kemandirian kebijakan. Salah satunya dengan tetap menerapkan hambatan tarif dan non tarif.

Tapi perlu disadari pula bahwa ini bukan masalah teknis renegoisasi ACFTA, tetapi ini sudah pertarungan ideologi. Bagaimana kapitalisme itu terus mencengkeram. Jadi sekarang kapitalisme bukan hanya Amerika dan Eropa tetapi China itu juga menjadi raksasa kapitalisme.

Di sinilah sebenarnya mengapa HTI bolak-balik tidak pernah berhenti, tidak pernah capek, bahwa sistem negara kita tercinta ini harus dirubah sehingga mempunyai kemandirian di dalam pengelolaan politik dan ekonomi. “Itulah yang kita sebut dengan Selamatkan Indonesia dengan Syariah di Bawah Naungan Khilafah,” ujarnya kemudian disambut tepuk tangan oleh sekitar 350 peserta yang hadir.

“Saya menjamin bahwa seluruh pengusaha itu akan sangat nyaman dengan syariah!” tegas Ismail. Mengapa? Satu, secara makro policy politik ekomi pemerintah itu berdasarkan syariah. Berdasarkan sebuah ukuran-ukuran yang konstan, yang tetap yang tidak mudah tersimpangkan oleh pandangan-pandangan kapitalistik.

Pandangan kapitalistik yang berlaku saat ini di Indonesia adalah lebih merupakan negosiasi antara pemilik modal dari luar dengan para patronnya di dalam untuk kepentingan kekuasaan.

Yang kedua secara mikro industri, skema-skema syariah itu justu akan lebih menguntungkan para pengusaha.

Ketiga, jangankan korupsi, atau sogok menyogok, hadiah bagi pejabat itu diharamkan dalam Islam. Jadi syariah menjamin tidak adanya ongkos ekonomi yang tinggi (high cost economy) .

Nah, kalau itu semua bisa diberikan kepada pengusaha saya kira pengusaha tidak keberatan. “Baik pengusaha itu Muslim maupun non Muslim!” tandas Ismail.[] joko prasetyo

No comments:

Post a Comment